Sumber Ilmu dari Kampung Bali

Kampung Bali Matraman 1974. Beberapa saat sebelum adzan Subuh dikumandangkan oleh seorang mu’adzin di Masjid Al-Barkah, lelaki tua berbaju koko putih dan berkopiah haji itu telah duduk bersila di mimbar masjid. Betapa khusuknya ia mendekatkan diri kepada Allah SWT. Bibirnya melafazkan Asmaul Husna. Tubuhnya yang tegap merunduk. Matanya berkaca-kaca. Ia memohon kepada Allah agar perjuangannya mencerdaskan bangsa dapat terlaksana dengan baik.
Lelaki tua bertubuh gemuk itu siapa lagi kalau bukan K.H.Abdul Syafi’ie. Kiprahnya dalam menyiarkan agama Islam di Indonesia memang sudah tidak asing lagi. Tokoh Betawi kelahiran Kampung Bali Matraman, 10 Agustus 1910, ini sering melakukan dakwah, baik di Perguruan As-Syafi’iyah yang dirintisnya sejak tahun 1930 maupun berbagai pelosok Tanah Air. Kehadirannya tentu saja selalu ditunggu-tunggu oleh masyarakat dari berbagai lapisan serta para ulama yang mengundangnya Ceramahnya di Radio Dakwah As-Syafi’iyah yang didirikannya pada tahun 1967, juga tak lepas dari telinga masyarakat Jakarta dan sekitarnya.
Dunia pendidikan pun menyatu dalam dirinya. Melalui Perguruan As-Syafi’iyah, ulama yang kerap dipanggil H. Dulah ini, berusaha memberikan pendidikan agama semaksimal mungkin kepada para santri. Makanya, tak heran, jika sebagian santri yang diasuhnya puluhan tahun kemudian menjadi ulama terkenal.
Kedisiplinan menuntut ilmu serta menjalankan ibadah yang diterapkan H. Dulah kepada para santri memang tidak tanggung-tanggung. Ini tentu pernah dialami bagi siapa saja yang pernah mondok di perguruan tersebut. Kesan yang mendalam terjadi ketika beberapa menit sebelum melaksanakan shalat Subuh. Saat-saat seperti itu, H. Dulah selalu membangunkan para santri serta guru-guru yang tinggal di kompleks perguruan tersebut.
Ketika pintu tempat pemukiman diketuk-ketuk dengan keras, para santri sudah tahu kalau yang mengetuk-ketuk itu pasti Pak Kiyai. Ini memang pengalaman yang menarik bagi para santri. Bagi santri yang gampang bangun setelah mendengar ketukan pertama atau sudah terbiasa bangun sebelum Pak Kiyai membangunkan tentu saja buru-buru pergi ke kamar mandi. Tapi, bagi yang kebluk, ini yang menjadi keprihatinan Pak Kiyai.
Pak Kiyai boleh jadi marah. Santri yang kebluk itu pun dibangunkannya berkali-kali. Ia juga geram kalau santri itu malah mengigau. Maka, lewat usaha keras untuk membangunkannya, akhirnya si santri itu pun bangun. Setelah melihat Pak Kiyai yang membangunkannya, si santri bergegas ke kamar mandi.
Usai shalat berjamaah di Masjid Al-Barkah, para santri acapkali disuruh datang ke rumah Pak Kiyai. Letak tempat tinggal Pak Kiyai sekitar 200 meter dari masjid. Sebagian besar santri laki-lak ini tentu saja bertanya-tanya di dalam hati : ada apa gerangan sehingga PaK Kiyai memanggil. Memang, perintah Pak Kiyai ini seringkali mendadak. Tidak diduga sebelumnya. Namun, karena ini perintah yang harus ditaati, para santri pun segera ke rumah Pak Kiyai.
Sesampainya di rumah Pak Kiyai, Ustadz Rohimi (alm), salah seorang guru di madrasah menyuruh para santri untuk masuk ke ruang tamu. Pak Kiyai masih ada di dalam kamar saat itu. Para santri tentu masih diselimuti tanda tanya di dalam hati tentang panggilan secara mendadak dari Pak Kiyai. Salah seorang santri menatap jendela. Matahari mulai menampakkan wajah.
Sepuluh menit kemudian, Pak Kiyai muncul. Para santri buruburu mencium tangannya. Tapi, Pak Kiyai segera menarik tangannya. Ini selalu dilakukan pada siapa saja. Para santri tak mempermasalahkan soal itu.
Namun, hatinya deg-degan saat Pak Kiyai menunjuk salah seorang santri untuk menguraikan ilmu fiqih yang telah diperolehnya di madrasah. Kebetulan, buku-buku fiqih di As-Syafi’iyah menggunakan bahasa Arab. Makanya, saat menguraikan ilmu tersebut, para santri harus menggunakan bahasa Arab.
Pak Kiyai akan menggeleng-gelengkan kepala kalau penguraian itu tidak tepat, apalagi salah. Maka, dengan tegas ia menyuruh santri itu untuk mempelajarinya kembali. Suatu saat, santri tersebut akan dipanggil lagi. Bagi yang mampu menjelaskan dengan benar ilmu fiqih tadi, Pak Kiyai pasti manggut-manggut. Ia mendekati santri itu dan mengusap-usap kepalanya disertai dengan doa.
Panggilan mendadak ini, tentu saja menjadi pelajaran berharga. Kedisiplinan menuntut ilmu akan tertanam di dalam hati. Kapan saja dan di mana saja, para santri selalu mempelajari kembali berbagai ilmu yang diperolehnya di madrasah.
Di tengah kesibukannya mendidik para santri, baik di Perguruan As-Syafi’iyah yang terletak di Kampung Bali Matraman maupun di jatiwaringin, juga berdakwah di berbagai tempat, termasuk di Majelis Taklim As-Syafi’iyah yang berlangsung setiap hari Minggu. Kepiawaiannya menyampaikan ajaran agama tak perlu diragukan lagi. Dia lah satu-satunya kiyai yang mampu menggugah hati masyarakat untuk larut dalam wejangannya. Banyak masyarakat, begitu juga ulama, yang mengucurkan air mata ketika ia berceramah tentang alam kubur. K.H. Abdullah Syafi’memang ulama yang mempunyai kharisma yang tinggi. Ia juga tokoh yang mampu menegakkan kebenaran. Malah, saat Gubernur Ali Sadikin membuat kebijakan tentang masalah perjudian dan makam di DKI Jakarta, Kiyai menentang keras. Karena itulah, pada 1973, ia bersama ulama lainnya mendirikan Majelis Muzakroh Ulama. Untuk merealisasikan kegiatan itu, K.H. Abdullah Syafi’ie menghubungi beberapa ulama terkemuka, antara lain K.H. Abdussalam Djaelani, K.H. Abdullah Musa, dan sebagainya.
Dalam majelis itu dibahas tentang permasalahan tentang berbagai masalah, seperti masalah perjudian, P4, kuburan, dan sebagainya. K.H. Abdullah Syafi’ie memang sangat peduli terhadap permasalahan yang akan menjermuskan masyarakat. Karena itu, ia dipandang sebagai ulama yang vokal, tegas, dan jujur. Maka, tak heran, kalau para pejabat di DKI Jakarta khususnya sangat menyukai Pak Kiyai. Malah, Menteri Agama Munawir Sadzali mengakuinya sebagai guru yang patut dicontoh dan ditiru. Meskipun ia aktif di Masyumi, tapi sangat dekat dengan tokoh-tokoh lain dari berbagai organisasi, seperti dengan Buya Hamka, K.H. Hasan Basri,K.H. Idham Chalid, dan banyak lagi.
Karena itu, para pejabat, termasuk Ali Sadikin, selalu mendukung gagasan yang disampaikan oleh K.H. Abdullah Syafi’ie. Salah satunya, tentang pengembangan Perguruan As-Syafi’iyah dan perenovasian Masjid Al-Barkah. Dengan demikian, perguruan yang semula hanya terletak di Kampung Bali Matraman, akhir tahun 60-an merambah ke daerah lain, seperti jatiwaringin, Cilangkap, Jakasampurna, Payangan, Cogrek, dan sebagainya. Malah, Jatiwaringin dijadikannya sebagai Kota Pelajar. Di Jatiwaringin terdapat Pesantren Putra, Pesantren Putri, Pesantren Tradisional, Pesantren Khusus Yatim As-Syafi’iyah, Taman Kanak-kanak, dan Universitas Islam As-Syafi’iyah.
Kiyai juga merupakan salah satu pendiri MUI (Majelis Ulama Indonesia). Selain pernah menjabat sebagai Wakil Ketua di MUI Pusat, juga sebagai Ketua Umum MUI DKI Jakarta. Ia juga salah seorang yang giat mengadakan pendidikan dalam pemberantasan buta huruf Al Quran. Di samping itu, kiyai yang cuma mengenyam pendidikan SR kelas dua ini, juga dipercaya sebagai pengurus Badan Kontak Majelis Taklim (BKMT).
Semasa kecil, K.H. Abdullah Syafi’ie banyak menuntut ilmu dari para ustadz di mana pun berada. Guru-gurunya antara lain Ustadz Marzuki, Ustadz Musanif, Ustadz Sabeki, Habib Ali Al Habsyi, Habib Alwi Bin Thahir, Habib Alwi Al Hadad, dan banyak lagi. Ia juga pernah mengenyam pendidiikan agama di Makkah.
Dari ilmu agama yang diperolehnya itu, saat usia 17 tahun ia membuka madrasah di kampung kelahirannya. Lembaga pendidikan agama yang menggunakan tempat bekas kandang sapi itu dinamakan Madrasah Islamiyah Ibtidaiyah. Puluhan tahun kemudian, berganti nama menjadi AsSyafi’iyah. Nama tersebut merupakan perpaduan antara nama Syafi’ie dengan mazhab Imam Syafi’I yang dianutnya.
Tanggal 3 September 1985, tokoh panutan masyarakat ini meninggal dunia. Masyarakat dan pejabat yang dekat dengan dia merasa terkejut ketika mendengar K.H. Abdullah Syafi’ie meninggal dunia. Tokoh-tokoh pemerintah seperti Emil Salim, Ali Sadikin, Alamsyah Ratu Perwiranegara, Try Sutrisno, Harmoko, dan sebagainya mend oakan kepergiannya.
Masyarakat Indonesia tentu mengharapkan munculnya ulama seperti beliau. Perjuangan tanpa pamrih, semata-mata karena lilahi ta’ala, mau mengoreksi diri, terbuka pada siapa pun juga, adalah jatidirinya

0 komentar:

Blogger Template by Blogcrowds